Sejarah Camp Vietnam atau juga biasa disebut Kampung Vietnam. Terletak di Pulau Galang, Camp Vietnam adalah suatu area tidak berpenghuni yang dulunya merupakan tempat pengungsi Vietnam untuk mencari perlindungan atau suaka pasca terjadinya konflik internal antara Vietnam Utara dan Vietnam Selatan sekitar tahun 1979.
Di masa perang saudara di Vietnam tahun 1979, ratusan ribu penduduk Vietnam Selatan mengungsi dari negaranya demi alasan kemanan. Mereka mengungsi dengan menggunakan perahu-perahu kayu sederhana yang kondisinya memprihatinkan karena dalam satu perahu bisa ditempati 40-100 orang. Berbulan-bulan para ‘Manusia Perahu’ ini terombang-ambing mengarungi perairan Laut Cina Selatan sejauh ribuan kilometer tanpa tujuan yang jelas dengan harapan mendapat perlindungan deari negara lain. Sebagian dari mereka ada yang meninggal di tengah lautan dan sebagian lagi berhasil mencapai daratan, termasuk wilayah Indonesia.
Pengungsi pertama yang yang mendarat di Indonesia adalah di Kepulauan Natuna bagian utara pada tanggal 22 Mei 1975, sebanyak 75 orang. Pengungsi yang jumlahnya masih sedikit ini awalnya ditampung oleh masyarakat setempat, hingga akhirnya perahu-perahu pengungsi lain juga berdatangan, termasuk di Kepulauan Anambas dan Pulau Bintan. Gelombang pengungsi ini menarik perhatian Komisi Tinggi Urusan Pengungsi PBB (UNHCR) dan Pemerintah Indonesia. Setelah mengevaluasi beberapa pulau di sekitar Pulau Bintan, berdasarkan alasan kemudahan menyalurkan pengungsi ke negara ketiga, area yang cukup luas untuk menampung 10.000 pengungsi, kemudahan isoler, serta kemudahan akses, akhirnya diputuskanlah Pulau Galang, tepatnya di Desa Sijantung, Kepulauan Riau sebagai tempat penampungan sementara bagi para pengungsi.
Di Pulau Galang para pengungsi Vietnam meneruskan hidupnya hingga tahun 1995, sampai akhirnya mereka mendapat suaka di negara-negara maju yang mau menerima mereka ataupun dipulangkan ke Vietnam. Para pengungsi tersebut hidup terisolasi di dalam area seluas 80 hektar dan tertutup interaksinya dengan penduduk setempat. Hal ini dilakukan untuk mempermudah pengawasan, pengaturan, penjagaan keamanan, sekaligus untuk menghindari penyebaran penyakit kelamin Vietnam Rose yang dibawa para pengungsi.
Untuk mencapai Camp Vietnam, bisa ditempuh dalam waktu sekitar 60 menit menggunakan kendaraan bermotor dari pusat kota Batam menuju Pulau Galang dengan melalui Jembatan Barelang. Jembatan Barelang yang namanya merupakan singkatan dari Batam, Rempang, dan Galang ini terdiri dari 6 jembatan yang menghubungkan pulau-pulau kecil. Diperlukan waktu sekitar 1 jam yang diiringi pemandangan lautan biru yang indah tiap kali berada di atas jembatan hingga akhirnya tiba di Pulau Galang.
Dari jalanan utama Pulau Galang, di sebelah kiri akan terlihat gapura berbentuk perahu bercat merah dan putih sebagai gerbang masuk Camp Vietnam. Hati-hati terlewat karena letaknya kurang mencolok. Dengan membayar di loket masuk sebesar Rp. 5000 per mobil dan Rp. 3000 per orang, perjalanan napak tilas bersejarah ini pun dimulai.
Jalanan sepi berkelok-kelok membelah rimbunnya pepohonan di kanan-kiri yang juga dihuni monyet-monyet jinak. Silih berganti bangunan-bangunan bersejarah akan kita lewati. Salah satunya yang terdekat dari gerbang masuk adalah Humanity Statue. Monumen kemanusiaan ini berbentuk patung perempuan dalam keadaan terkulai. Monumen ini didirikan untuk mengenang tragedi kemanusiaan Tinh Han Loai, seorang wanita yang bunuh diri karena malu setelah diperkosa oleh sesama pengungsi. Pemerkosaan bukanlah satu-satunya tindakan kriminal yang dilakukan oleh para pengungsi. Beberapa dari mereka juga mencuri, bahkan membunuh. Oleh karena itu sebuah penjara juga dibangun di tempat ini yang digunakan untuk menahan para pengungsi yang melakukan tindakan kriminal dan yang mencoba melarikan diri.
Tidak jauh dari Humanity Statue, terdapat pemakaman Nghia-Trang Galang. Sekitar 503 pengungsi dimakamkan di sini. Kebanyakan dari mereka meninggal akibat penyakit yang diderita selama berlayar berbulan-bulan di laut lepas. Pemakaman itulah yang membuat para kerabat yang telah kembali ke Vietnam atau yang telah mendapat suaka di negara lain untuk bermukim masih kerap datang ke Pulau Galang untuk berziarah.
Selepas pamakaman Nghia-Trang Galang, kita akan menemui Monumen Perahu. Perahu-perahu ini adalah sebagian perahu asli yang benar-benar digunakan para pengungsi untuk mengarungi Laut Cina Selatan. Dan dalam perahu yang kecil ini, dipaksakan untuk memuat 40-100 orang selama berbulan-bulan. Tak terbayangkan bagaimana para ‘Manusia Perahu’ ini bisa bertahan untuk hidup. Perahu-perahu ini pernah dengan sengaja ditenggelamkan, bahkan sebagian perahu dibakar oleh para pengungsi sebagai bentuk protes atas kebijakan UNHCR dan Pemerintah Indonesia yang ingin memulangkan sekitar lima ribu pengungsi. Lima ribu pengungsi ini dipulangkan karena mereka tidak lolos tes untuk mendapatkan kewarganegaraan baru. Sepeninggal para pengungsi ini tahun 1995, Pemerintah Otorita Batam mengangkat perahu-perahu yang ditenggelamkan ke daratan, diperbaiki, dan dipamerkan ke publik sebagai benda bernilai sejarah.
Museum juga tersedia di lokasi wisata sejarah ini. Di dalam museum terdapat banyak pasfoto para pengungsi, foto keluarga, foto kegiatan para pengungsi, serta benda-benda rumah tangga yang dapat menggambarkan situasi kehidupan di Camp Vietnam. Selain museum juga terdapat bekas bangunan rumah sakit yang masih menyimpan kotak-kotak dan botol-botol obat yang dibiarkan terbengkalai begitu saja, bangkai-bangkai kendaraan roda empat yang sudah berkarat dan ditumbuhi tanaman rambat, serta bangunan-bangunan sekolah bahasa yang hanya terlihat sebagian karena mayoritas dindingnya sudah tertutup tanaman rimbun hingga atap. Sekolah bahasa ini dulunya digunakan Badan Penanganan Pengungsi PBB, UNHCR, untuk meningkatkan keterampilan bahasa para pengungsi. Sebelum mendapat suaka di negara ketiga, para pengungsi diwajibkan memiliki keterampilan khusus dan menguasai bahasa asing, di antaranya bahasa Inggris dan Perancis.
Tempat-tempat ibadah juga tersedia di dalam area pengungsian ini. Terdapat vihara, mushala, gereja Kristen, serta gereja Katolik. Semua bangunan tersebut masih orisinil. Hanya vihara yang baru saja diperbaiki dan dicat ulang sehingga terlihat mencolok di antara bangunan-bangunan tua lainnya. Keadaan ini berbanding terbalik dengan gereja Kristen yang hampir tidak terlihat dari jalanan karena yang tersisa hanya tinggal puing yang tersembunyi di balik pepohonan. Sedangkan bangunan mushola dan gereja Katolik masih berdiri tegak. Namun yang paling menarik adalah Gereja Katolik Nha Tho Duc Me Vo Nhiem karena ukurannya yang lumayan tinggi menjulang.
Untuk memasuki wilayah Gereja Katolik Nha Tho Duc Me Vo Nhiem ini kita harus melalui jembatan kayu yang keadaannya sudah terlihat lapuk namun ternyata masih bisa dilewati pejalan kaki dengan aman. Bagi yang membawa kendaraan roda empat atau roda dua, bisa melewati jembatan jembatan baru yang terbuat dari semen di samping gereja. Gereja ini setiap harinya dijaga oleh seorang Bapak Petugas yang ramah. Menurut pengakuan beliau, bangunan gereja ini termasuk interiornya masih asli. Hanya sebagian dinding yang pernah dicat ulang serta atap yang pernah diganti. Di bagian samping gereja ini juga terdapat patung-patung, di antaranya patung Bunda Maria yang menginjak bola dunia di dalam sebuah perahu. Di kanan-kirinya terdapat dua patung singa putih yang di punggungnya terdapat tulisan dalam bahasa Vietnam dan Inggris. Tulisan berbahasa Inggrisnya berbunyi sebagai berikut: “O Mary, we are all deeply grateful for your protecting presence on our way to freedom. We always entrust our lives to you. Your care for us will be highly appreciated in our heart forever.” Kalimat rasa syukur yang sangat dalam maknanya bagi para pengungsi yang berhasil dengan pantang menyerah berusaha menemukan harapan baru demi kehidupan yang lebih baik.